
Rogers was
born in 1902 in the Chicago suburb of Oak Park, Illionis. In his autobiography,
Rogers (1967) deskribed his well-to-do Protestan family as closeknit, loving,
practikal, and dedicated-even overly
dedicated to Cristian principles and to the virtures of hard work.
Rogers, who was an intelectually precocius child, loved to read but reports
feeling guilty during the times that his reading interfered with his chores.
When Rogers was 12, his family purchased a large farm 30 miles west of Chicago
that his father, a successful contractor, ranthough a manager
on a modern,
Carl Rogers scientific basis. Through his reading in scientific
Agriculture and through
activities on the farm.
Young Carl developed a lasting
interest in and respect for the
essential element of science and experimental method before he was 16 years of
age (Herbert, 1979, 28).
|
Konsep dan pendekatan Carl Roger (1902–1987) adalah
lanjutan dari perkembangan disiplin konseling humanistik. Salah satu kesan
pendekatan penyuluhan Rogerian yang signifikan untuk dicermati adalah berkembangnya pendekatan-pendekatan baru yang
mengarah kepada pendekatan–pendekatan konseling keagamaan.
Perkembangan konseling keagamaan yang dikembangkan oleh
Rogers terutama dalam esensi dan citra manusia ini dapat dilihat dari beberapa
hasil penyelidikan konseling terkini yang melaporkan bahwa telah wujud satu era
baru tentang pentingnya rawatan menyelesaikan permasalahan citra manusia
melalui pendekatan keagamaan yang berkaitan dengan kepercayaan dan keimanan,
selain melalui pendekatan yang konvensional. Hal ini ada hubungannya dengan
hasil penyelidikan Chalfant dan Heller pada tahun 1990 yang menyimpulkan bahwa
dari 40 ratus orang yang mengalami permasalahan jiwa lebih suka meminta
pertolongan nasehat kepada orang–orang agama. Klien yang beragama memandang
negatif terhadap konselor yang berpandangan sekuler, malah sering terjadi
mereka menolak bahkan menghentikan rawatannya sebelum waktunya (Sholeh,
Musbikin, 2005, 25).
Nilai–nilai agama yang dianut klien merupakan satu
perkara asas yang perlu dipertimbangkan oleh setiap konselor dalam memberikan
layanan konseling, karena klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin
sangat meyakini dengan pemecahan masalah jiwanya melalui nilai-nilai ajaran
agamanya sendiri. Dalam proses konseling nilai–nilai agama penting untuk
dipertimbangkan oleh konselor, supaya proses konseling terlaksana secara efektif.
Sebenarnya fenomena ini telah terjadi di dunia Barat yang sekuler, hal ini didapatkan juga di Indonesia yang
masyarakatnya kebanyakan beragama Islam. Ramai orang–orang bermasalah
mendatangi para ulama, bukan untuk menanyakan masalah hukum–hukum agama, tetapi
justru menyampaikan permasalahan kejiwaan yang dialaminya agar diberikan pertolongan dan jalan keluar berupa nasehat,
saran, dan agar dido’akan untuk kesembuhan penyakit dan menentramkan ketenangan
jiwanya.
Oleh sebab itu, usaha pengembangan konsep dan teknik
konseling yang berwawasan agama adalah penting, terutama dalam menangani klien
yang kuat berpegang kepada nilai-nilai ajaran agamanya. Perkara ini telah
berkembang dengan pesatnya di dunia Barat, mereka sebut sebagai konseling
pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al-Kitab) di kalangan umat nasrani
(Halim, 2009, 5)
Bagi umat Islam sebenarnya bisa menjadikan agama
khusunya Al-Qur’an dan Hadist yang
seharusnya dikembangkan oleh para konselor, sehingga para ulama paham tentang ilmu bimbingan konseling Islam. Nabi Muhammad SAW diakhir hayatnya juga mewasiatkan kepada umat
manusia bahwa Al-Qur’an dan hadist adalah sebaik–baik panduan hidup umat
manusia yang diinginkan kejayaan dan ketenangan hidup, dan mereka tidak akan
tersesat selama mereka berpegang teguh kepadanya sebagaimana hadist Nabi
Muhammad SAW sebagai berikut :
و
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا
كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya: Dan menceritakan kepada kami dari Malik
sesungguhnya menyampaikan akannya bahwa Rasulullah SAW berkata : Telah kutinggalkan kepada kamu sekalian dua pusaka jika kamu
berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat selamanya (Al-Imam
Malik bin Anas, 1989, Juz 2, hl.30).
Hadist di atas memberikan penjelasan bahwa dalam
menjalankan kehidupan kita tidak terlepas dari kedua sumber tersebut, karena
dengan sumber ini segala permasalahan hidup bisa diselesaikan.
Menurut Musfir
bin Said Az–Zahrani dalam bukunya yang berjudul “Konseling Terapi” menjelaskan bahwa
hal-hal yang perlu diperhatikan dalam diri manusia yang berguna untuk
mempermudah pelaksanaan proses konseling yaitu : Bahwa tabiat dasar manusia
adalah baik, namun ada kalanya tabiat tersebut dapat berubah dan sesungguhnya
manusia merupakan makhluk terbaik yang telah Allah ciptakan (Az-Zahrani, 2005,
46).
Hal di atas
merupakan konsep Islam yang menyimpulkan bahwa ada beberapa hal sifat manusia
yang berkembang. Namun kalau kita lihat konsep Carl Rogers, yang dikutip oleh
Herbert dalam bukunya yang berjudul “Theories of Counseling” (1979,
35-39) menyatakan bahwa manusia memiliki ciri–ciri utama yaitu : 1) Tendency
toward actualization, 2) Human beings are trustworthy and wiser than their
intellects, 3) Human are experiencing beings, 4) Life exist in the
moment : life is lived now, 5) Fundamental predominance of the subjective, 6) A deep human relationship
is one of man’s most crying needs.
Dari apa yang dijelaskan oleh Rogers bahwa manusia itu
memiliki sifat dan karakteristik sebagai berikut : 1) Memiliki potensi
mengaktualisasikan diri, 2) Memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dan
bertanggung jawab, 3) Aktif dan terlibat langsung dalam proses perubahan dan
peningkatan diri, 4) Memiliki kesadaran diri, 5) Memiliki rasa takut dan kuatir
atas keadaan hidup, 6) Memiliki kesadaran dalam hidup.
Seiring dengan hal di atas
Rogers percaya bahwa manusia itu sejak lahir sudah ingin
mengaktualisasikan dirinya serta meningkatkannya, yaitu berupa kesehatan,
sosial, realisasi diri dan kemandirian. Hal ini ini bisa dilihat dari tujuan
perkembangan manusia yaitu memungkinkan
seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana dia hidup. Untuk mencapai
tujuan ini, maka realisasi diri atau yang disebut dengan “aktualisasi diri”
adalah sangat penting. Namun tujuan ini tidak pernah statis. Tujuan ini
dianggap sebagai suatu dorongan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik, untuk
menjadi seperti manusia yang menginginkan kehidupan yang baik secara fisik
maupun psikologis (Hurlock, 1994, 3).
Dalam Islam manusia seharusnya mewujudkan jati dirinya,
identitas dirinya (self-identity) yang hakiki, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah berarti
manusia menurut fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis (sikap
sosial untuk membantu orang lain). Menilik fitrahnya ini, manusia memiliki
potensi atau kemampuan untuk bersosialisasi, berinteraksi sosial secara positif
dan konstruktif dengan orang lain, atau lingkungannya atau yang kita sebut
dengan istilah aktualisasi diri.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surah Sad ayat 71-72 sebagai berikut :
øŒÎ) tA$s% y7•/u‘ Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ’ÎoTÎ) 7,Î=»yz #ZŽ|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ #sŒÎ*sù ¼çmçG÷ƒ§qy™ àM÷‚xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr•‘ (#qãès)sù ¼çms9 tûïωÉf»y™ ÇÐËÈ
Artinya: (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".Maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".(Depag RI, 2005, 457).
Disamping kekuatan dan daya-daya
kemampuan jasmaniah, semisal gerak,
mencerna makanan, melihat dan lain-lain, manusia dianugrahi Allah kemampuan
rohaniah yang kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk
lainnya. Kemampuan-kemampuan rohaniah yang dimiliki manusia, dan hal ini banyak
disebut dalam Al-Qur’an dan hadist antara lain kemampuan akal pikiran (albab),
hati nurani (af’idah), kemampun berbuat untuk mengembangkan diri,
pengetahuan, pendengaran dan lain-lain.
Tercipta dari berbagai ragam unsur
: jasmaniah, rohaniah, berakal, hati nurani, berpenglihatan, dan
berpendengaran, atau yang lazim juga dikatakan memiliki unsur cipta, rasa dan
karsa, yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan
untuk pengembangan diri dan alam semesta ini. Hal ini yang disebut dengan
makhluk monopluralis yaitu berkemampuan banyak untuk mengaktualisasikan potensi
dirinya.
Rogers menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik
dan terpercaya. Kata-kata seperti “bertanggung jawab”, “bisa dipercaya”,
“membangun”, “bebas” dan “baik” menggambarkan karakteristik yang melekat pada
manusia. Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap orang, baik anak-anak,
remaja, maupun dewasa. Pada anak kebutuhan kebebasan untuk menentukan pilihan
dan rasa tanggung jawab nampak dengan jelas, sebab mereka suka bereaksi secara
langsung terhadap sesuatu yang mengancam dirinya. Hal yang bisa membuat seperti
hal diatas adalah menciptakan iklim kehidupan yang memberi kebebasan (freedom)
untuk bereaksi. Pemberian kebebasan untuk berekspresi atau berperilaku itu
perlu bimbingan dari orang tua, karena belum memiliki kemampuan mengarahkan
perilakunya secara tepat dan benar. Pada orang dewasa kebutuhan ini
memotivasinya untuk mencari kerja, menabung uang, atau menjadi peserta
asuransi. Orang dewasa yang sehat mentalnya ditandai dengan perasaan aman,
bebas dari rasa takut dan cemas (Byrne, 2003, 9).
Sebagai khalifah, manusia juga mengemban
amanah, atau tanggung jawab (responsibility) untuk berinisiatif dan
berpartisipasi aktif dalam menciptakan tatanan kehidupan yang nyaman dan
sejahtera, dan berupaya mencegah terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan
dan perusakan lingkungan hidup. Sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat
29 sebagai berikut :
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În/§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4 !$¯RÎ) $tRô‰tGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·‘$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß 4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o„ (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. “Èqô±o„ onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$y™ur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
Artinya : Dan katakanlah (Muhammad), “kebenaraan itu datangnyaa dari Tuhan-mu,
barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa
menghendaki (kafir) biarlah dia kafir” Sesungguhnya kami telah menyediakan
neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta
pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang
menghapuskan wajah. (itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek (Depag RI, 2005, 297).
Kemudian
sifat bertanggung jawab dalam berbuat
yang disebutkan oleh Carl Rogers bisa kita lihat dan sesuaikan dengan
Al-Qur’an Surat Al-Muddassir ayat 38, sebagai berikut :
Ÿ‘@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoY‹Ïdu‘ ÇÌÑÈ
Artinya:
Setiap orang bertanggung jawab atas
apa yang telah dilakukannya (Depag RI, 2005, 575).
Manusia yang diciptakan Allah SWT. sebagai
khalifah memiliki kemerdekaan (freedom) untuk mengembangkan diri. Allah
SWT melengkapi manusia dengan sifat khouf (rasa cemas, takut, dan
khawatir) dan rajaa (sikap penuh
harapan dan optimisme). Kondisi ini merupakan sifat eksistensial manusia yang
tak dapat dihindari, dan kedua-duanya merupakan kekuatan yang ada pada diri
manusia. Kedua kekuatan yang tampak kontradiktif ini harus hadir di dalam
proses perkembangan manusia, tetapi tidak harus berbenturan, melainkan harus
sinergi dan harmonis, berkembang ke arah kesatuan. Kondisi eksistensial manusia
ini memaknakan bahwa perkembangan manusia terarah kesatuan eksistensi dan bukan
keragaman eksistensi.
Selanjutnya Rogers percaya dalam Konseling Client-Centered
bahwa manusia itu aktif dan bijaksana dalam peningkatan diri dan proses perubahan. Sifat itu timbul dalam diri
manusia dengan pembelajaran secara sadar, ketika manusia berfungsi secara tidak
bertahan dan baik, mereka percaya total terhadap reaksi organisme yang mereka
buat, yang sering menghasilkan kebaikan
(walaupun lebih intuitif) penyesuaian dan berfikir dengan sendirinya dalam
proses perubahan dan peningkatan diri (Herbert, 1979, 39).
Dalam Islam sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi mempunyai
tugas suci yang harus aktif dilaksanakan baik dalam bermasyarakat maupun
menyangkut hubungan kepada Allah sesuai dengan fitrah yang dimilikinya, yaitu
berbuat baik kepada Allah. Bentuk peningkatan dan pengabdian itu, baik bersifat
ritual personal (seperti shalat, shaum, dan berdo’a) maupun peningkatan dan
ibadah sosial, yaitu menjalin silaturrahim (hubungan persaudaraan antar
manusia) dan menciptakan lingkungan yang bermanfaat bagi kesejahteraan atau
kebahagiaan umat manusia (rahmatan lil’alamin). Sifat manusia yang memiliki kemampuan untuk
menjaga kesucian keaktifan fitrahnya menjadi manusia bertaqwa yang disebutkan oleh Carl Rogers bisa kita
lihat dan sesuaikan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ruum ayat 30 sebagai berikut :
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$# ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Islam), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan
manusia menurut (fitrah) itu. 1 Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui (Depag RI, 2005, 407).
Dari paparan di atas jelaslah bahwa ada nilai–nilai citra
manusia dalam teori konseling yang berpusat pada klien, Rogers yang bersamaan
dengan Agama Islam. Pendekatan konseling ini bila dibahas dan ditelusuri, tentu
memiliki nilai positif dan negatifnya, nilai positif yang ada di dalam teori
tersebut dijelaskan dan dibahas secara
rinci tentang sifat dan ciri manusia yang dikembangkan oleh Rogers, bila
dikaitkan dengan konseling Islam. Sehingga bisa mendapatkan suatu nilai yang
bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan dengan konseling agama Islam, kalau
teori tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yaitu
Al-Qur’an dan hadist.
1 Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar.