Kamis, 22 Januari 2015

FIRST COMING TO PARE



RAHASIA DIBALIK RAMAI
KAMPUNG INGGRIS : PARE
(SEBUAH ILUSI)


Kamis, 22 Januari 2015, jam di tanganku menunjukkan pukul 15.05 wib, ketika rombongan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang sampai digerbang Desa Tulung Agung, Pare, Jawa Timur. Sekitar 6 jam perjalan dari kota padang, kota tercinta kujaga dan kubela menuju kampung Bahasa Inggris Tulung Agung, Pare. Mualai dari Pesantren aku suka dengan belajar bahasa Inggris, aku tidak tahu pasti kenapa aku tertarik dengan bahasanya David Beckam ini, tapi dalam lubuk hatiku, aku memang bercita-cita untuk bisa menjejakkan kakiku di kota kangoroo Autralia. Ketika aku masuk di IAIN Imam Bonjol Padang, salah satu senior di Fakultas dakwah bang Malim Soleh Rambe, mengatakan bahwa ada di jawa timur sebuah kota yang semua penduduknya pandai berbahasa Inggris, mulai dari petani sampai pada pejabat kantoran dalam keseharian mereka semuanya menggukan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari.
Kemudian seiring dengan berputarnya waktu, banyak juga kenalan ku di Kampus IAIN Imam Bonjol yang mengatakan bahwa pare merupakan kota yang tepat bagi kita untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris. Dari kabar-kabar seperti itulah aku menjadi tertarik untuk mengunjungi kota pare tersebut. Dan pada hari ini terjawablah semua rasa penasaran ku selama ini. Sudah lebih dari lima tahun aku membayangkan betapa uniknya kampung bahasa inggris ini. Nah, sekarang, saat ini, ini dia, kampung inggris tersebut. Di gerbangnya aku melintas. Subhanallah itulah kata yang bisa ku ucapkan melihat pemandangan ini.
Luar biasa digerbang masuknya, ada sebuah gabura nan indah, bercat kan merah dan diselingi warna merah. Di kedua sisi tonggak gapura tersebut ada dua patung arca membuat pemandangan kita seolah masuk kembali pada jaman majapahit. Kemudian ketika jalan kita lanjutkan sesudah gapura tersebut ada jembatan indah, jembatan ini hampir tidak berbeda dengan jembatan siti nurbaya yang ada di kota padang. Jembatan yang menghubungkan dua daratan, namun yang berbeda disini jembatan di pare ini tepat dibawahnya air penuh memenuhi penyangganya. Dipermukaan dinding jembatan ini ada ukiran berbentuk pelintir-pelintir menyerupai khat kaligrafi tapi buram tersamarkan dengan rentetan huruf pallawa. Jembatan ini tidak diaspal seperti jembatan siti nurbaya, tetapi ditambal dengan bahan bata kering yang dibenamkan didalamnya. Dikedua ujung jembatan ini tumbuh pepohoan begitu lebatnya, menambah kesejukan mata memandangnya. Daun-daun pohon ini tidak seperti daun biasa tetapi seperti bentuk daun ijuk, berwarna hijau, cabangnya indah mempesona seperti cabang pohon yang tumbuh disekeliling telaga dewi gungung singgalang sumatera barat. Pemandangan disini terlihat cerah tapi sedikit berkabut. Ada beragam perasaan yang muncul ketika melihatnya ada sensasi indah, takjub dan kagum, tapi ada juga perasaan menyeramkan, mencekam dan tertantang. Ada nuansa horor menyesak di sekililing tatkala aku melihat keramahan warga di sisni. Senyuman tulus yang terpaksa. Itulah yang kulihat dari guratan senyuman mereka.
Rombongan terus berjalan menuju perkampungan warga, semua kelihatan sumringah ketika sudah sampai disini. Di ujung jembatan ini, kami berpisah, ada 26 orang, terdiri dari 23 orang mahasiswa, 2 dosen dan dan 1 orang anak-anak, tepatnya anaknya bapak ketua jurusan menajemen dakwah islam. Bapak sarmen. Dari 26 orang kami diperbolehkan bapak sarmen selaku ketua rombongan untuk berpencar dan mencari kesibukan masing-masing. Kami berpisah terbagi menjadi 3 kelompok, kelompok pertama ada sebanyak 13 orang, bersama kelompok ini ikut bapak sarmen, kelompok kedua aku bersama 10 temanku berjalan ke arah bawah jembatan, dan kelompok ketiga berjumlah 3 orang berbelok kesisi sebelah kanan dari jembatan. Kami bernar-benar menikmati suasana di sini. Udara yang sejuk, pemandangan yang alami, dan sapaan ramah dari warga sekitar. Bagi orang-orang yang memang ingin mendalami bahasa inggris dengan baik, maka di sinilah tempat yang tepat. Kemampuan bahasa inggrisku yang cukup pas-pasan aku gunakan untuk menyapa dan menegur penduduk, sekedar menanya tempat dan sesekali aku gunakan kemampuanku untuk membeli makanan kecil.
Dibalik kegembiraan ini semua ada perasaan aneh menyusup ke dalam dadaku, kenapa keramahan di sini seolah tidak alami, tetapi terkesan dipaksakan dan dibuat-buat. Mereka menyapa kami dengan kesungguhan yang berat, jawaban yang muncul dari pembicaraan mereka hanya sekedar melepaskan kewajiban. Senyuman mereka ibarat senyuman kai (sinobi konoha yang menggantikan sasuke dalam tim seven). Dari hal ini mengundang kecuriagaan didalam hatiku apa sebenarnya yang terjadi di desa ini. Aku pun mulai melakukan pengamatan seorang diri. Dengan meminta izin pada si joki, selaku ketua kelompok kami, aku pergi sendirian dengan alasan ke toilet. Namun sebetulnya aku melihat gerak-gerik warga yang mencurikaganku. Mata ku terbelalak melihat kejadian yang terjadi dihadapanku. Pak sarmen, ya pak sarmen di bawah jembatan digerbang desa tulung agueng ini, dengan sendirinya pak sarmen menjeburkan dirinya ke dalam sungai di bawah jembatan ini. Sesaat kemudian terdengar suara ceburan di dalam sungai. “kejeburrrrr” suara lompatan pak sarmen.
“Halibata, sommm tani baniii, mati mata, mati raga, masuk sukma, sooommmm, halibata, tani baniiii, mati raga mati mata”. Dua orang berkepala botak di belakang pak sarmen sebelum menceburkan diri kedalam sungai. Dengan berpakaian seperti penduduk biasa, mereka semua terlihat biasa, namun jika pandangan mata sedikit dizoomkan maka disekeliling mata mereka berdua akan terlihat lingkaran hitam mengelilinginya. Mereka berdua membacakan mantra-mantra yang aku tidak mendengar dengan jelas. Namun aku hanya bisa melihat dari kejauhan kedua bibir mereka berkomat-kamit. Dengan mengendap-ngendap aku setengah berlari kearah ceburan itu dan ingin melihat apa sebenarnya yang terjadi dengan pak sarmen. Dibalik semak yang rimbun aku membenamkan diri dan melihat dengan seksama ke sungai. Satu menit berselang aku tidak melihat ada tanda-tanda pak sarmen keluar dari ceburan. 5 menit sudah berselang, belum juga aku melihat pak sarmen mengambang ke permukaan. Dan kulihat sekeliling dua orang itu sudah pergi meninggalkan pak sarmen. Aku mendekat ke bekas ceburan. Tidak melihat sedikit pun tanda-tanda seseorang yang habis menceburkan diri. Aku panik, bingung bukan main, aku tidak bisa menerima apa yang berusan terjadi.
Aku berlari cepat, berniat ingin memberitahukan pada semua robongan, tiba-tiba “nak jangan terburu-buru” sapa seorang lelaki tua, berjenggot hitam lebat, bersungtr sedikit menutupi bibirnya. “dia tidak akan apa-apa, hanya akan kehilangan kesadaran dan ingatan” imbuhnya. Siapah sosok lelaki ini, apa maksudnya? Gumamku dalam hati. “Apa yang terjadi pak? Betulkah apa yang telah aku saksikan semua ini?” tanyaku “betul, semua itu benar, jika kau mencemaskannya, aku pastikan tidak akan terjadi apa-apa dengannya”. Jawabnya “apa sebenarnya yang terjadi di kota ini pak?” tanyaku. “inilah yang menyebabkan kota ini ramai, dan terus-menerus dikunjungi, orang-orang pintar, orang-orang berbakat, dan berpotensi akan di sekap dan di hipnotis menjadi penduduk asli disini, dan dia akan melupakan masa lalunya, jika kau sedikit teliti kau akan menjumpai orang-orang yang menyapamu dengan keadaan hipnotis. Hampir semua warga disini dihipnotis dan dijadikan seperti lelaki yang baru tercebur tadi, di bawah jembatan itu ada pintu kecil menuju ruangan terapi pensucian. Dari sanalah orang-orang yang dipilih akan dijadikan sebagai penduduk disini dan pelayan di kota ini”
Aku terkejut bukan main, nafasku mendesah-desah, sedikit tersengal, dan berkeringat, h uhuhuhuhu, aku tersentak dan tersadar “astagfirullah aku mimpi buruk lagi” ah sungguh perjalan yang menegangkan. Di atas ranjang garin, masjid darul falah komplek cimpago permai koto lua pauh padang.    

2 komentar: