Jumat, 30 Desember 2016

Nganggur vs kreatif


3 hari kemarin saya berbincang-bincang dengan seorang staff SDM salah satu sekolah swasta favorit di Kota Padang. Dalam perbincangan kami, ia menceritakan bahwa di sekolah tempatnya bekerja baru saja melakukan rekruitmen guru dan karyawan.

Total guru dan karyawan yang dibutuhkan itu sebanyak 15 orang, 6 orang sebagai guru sisanya karyawan. Tapi, apa yang terjadi, dari 15 orang yang dibutuhkan ternyata ada 1200 orang lebih pendaftar. “Seribu dua ratus lebih blo?’ seribu dua ratus lebih’, tanya ku sambi melotot ke arahnya. Oh my God, what’s going on? Tanya ku dalam hati.” Terus dalam 1200 lebih itu ada diantaranya yang sudah Magister (S2)’ tambahnya, ‘WHATTTTTS’???? kembali mata ku melotot ke arahnya, setengah terbelalak terkejut.

Sudah segitukah sempitnya lapangan pekerjaan? Atau tidak kreatifkah sarjana lulusan PT sekarang? Atau pemerintah yang tidak serius memperhitungkan tenaga kerja dengan lapangan kerja yang tersedia? Dan kabarnya ada lagi yang mengimpor tenaga kerja. Oh my Godnees. Forgive us.

Sebelum tulisan ini saya tulis, saya mencuci piring tempat sambal  dan piring-piring kotor yang menumpuk di dalam ember yang saya sediakan. Sembari mencuci piring saya melamun indah sambil berpikir keras, sok-soan ikut memikirkan lapangan pekerjaan sekarang. Dalam perenungan saya sewaktu mencuci piring saya tidak menemukan solusi.

Selesai mencuci piring saya melanjutkan mencuci muka dan menyikat gigi sembari terus memikirkan permasalah lapangan pekerjaan ini. “:TUPPPS’SSSS. Ketika saya mengayunkan air kewajah tiba-tiba saja saya berpikir, “kenapa sarjana lulusan perguruan tinggi tidak menciptakan lapangan kerja sendiri ya?, kan itu lebih baik, walau mungkin awalnya amat sulit.

Setiap jurusan di PT mempunyai spesifikasi untuk persoalan masyarakat sekarang, ambil contoh terdekat lulusan IAIN/UIN, jurusan konseling misalnya, kenapa seniornya tidak mengarahkan untuk membuat lembaga konseling yang membantu masyarakat dalam mengentaskan permasalahan-permasalahan disekitarnya, bisa di sekolah, di kua, atau langsung direct selling ke masjid-masjid? Toh, masjid saja ada yang rela mendatangkan penceramah dari luar kota untuk mengisi pengajian. 10 desember 2016 kemarin saya mengikuti seminar parenting tentang seksualitas oleh Elly Risman di Pangeran Beach Hotel, ia mendirikan Yayasan Kita dan Buah Hati, yang bergerak di bidang survei-survei penyakit masyarakat (PEKAT) khususnya permasalahan anak. Kenapa kita tidak mencontoh membuat yang seperti itu???

 Atau jurusan tarbiyah? Kenapa mereka tidak menghimpun diri, para sarjana atau sama senior untuk membuat tempat les/bimbel, dengan bersama, berhimpun, saya kira itu bisa berjalan, kongkritnya, sewaktu habis kepengurusan kami di DEWAN MAHASISWA IAIN Imam Bonjol Padang, kami meninggalkan BADAN SEMI OTONOM bernama, IBLC (imam bonjol language community), dan Ica Chiefnya belum wisuda sudah bisa membuka bimbel untuk anggotanya dan dengan pemasukan yang lumayan.  

Fakultas ushuluddin, kenapa mereka tidak menghimpun diri para senior dan junior yang baru lulus, membuat lembaga atau yayasan yang bergerak mencerahkan masyarakat. Padahal dewasa ini, banyak masyarakat yang salah-salah pemahaman bahkan pada penipuan, seperti kanjeng dimas.

Intinya saya kira dengan menguatkan dan merapatkan kekerabatan sesama sarjana dan duduk bersama untuk kepentingan ummat dan bangsa barangkali akan bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau masyarakat sudah puas jangankan di dalam kota keluar kota masyarakat mau menjemput (mendatangkan).

Selesai saya mencuci muka seterusnya saya menyimpan sabun, odol (HPAI) yang dibungkus dalam kantong pembungkus selop aiger saya gantung dibalik pintu.