Bekas luka kadang lebih sakit dari luka itu sendiri. Baik orang maupun
golongan merasakan sakit yang berkelanjutan atas bekas luka yang dialami.
Lukanya tak seberapa bekasnya yang tidak mau dihapus. Begitulah kadang ralita
berjalan, entah itu bekas luka fisik maupun psikis semuanya berbekas terus
menghantui sepanjang kehidupan.
Masyarakat Indonesia merasakan bagaimana bekas luka yang di tinggalkan oleh
faham Komunis yang membuat perasaan bermacam ragam jika kata PKI di sebutkann.
Bagaimana tidak sejarah membentang bagaimana PKI dua kali, 1948 dan 1965
mencoba KUP dengan kekerasan dan darah dua kali. Faham yang yang di usung oleh
Marx dan Lenin ini jaya membuai kita dalam mimpi kesejahtraan dan keadilan yang
menipu. Kita dihasut dan dan di adu
domba sehingga terjadinya perang saudara pada hal kita sebagai anak Bangsa yang
sama satu Ibu Pertiwi. Luka ini terus membekas hingga era digital ini.
Di dunia, Marxisma-Leninisma-Stalinisma-Maonisma yang dikenal dengan nama
komunisme pernah mendominasi yaitu sekitar abad 20 selama 74 tahun lamanya.
Selama 74 tahun di 76 negara partai ini telah membantai 100 juta manusia.
Pemilu di negara komunis Cuma boleh diikuti oleh satu partai. Masjid, gereja
dan vihara diruntuhkan sebanyak-banyaknya, diratakan dengan tanah. Fatamorgana
kemakmuran yang dijanjikan dibidang Ekonomi, politik, sosial dan budaya
berakhir dengan kebangkrutan, bahkan pada diri Komunis sejatinya adalah
kekerasan berdarah, supermiliteristis-imperialistis, anti demokrasi amoral dan
anti Tuhan.
Belajar dari masa lalu, tentunya kita tidak mau jatuh ke dalam lubang yang
sama sehingga membuat kita terus dalam lingkaran penyesalan. Berangkat dari
bekas luka juta tidak tepat jika terus menanamkan dendam pada saudara sebangsa,
tapi sejarah di kenang agar menjadi pelajaran bagai seluruh anak bangsa bahwa
faham komunis membuat kesengsaraan di tanah air ini. Untuk saudara sebangsa dan
setah air, lahir dalam keadaan fitrah, maka semuanya behak diperlakukan dengan
hal yang sama dimata masyarakat dan dimata hukum. Seperti pepatah arab
mengatakan, qod fata ma fataa “yang
berlalu biarlah berlalu” bukan melupakan sejarah tapi mencoba mengubur dendam
pada saudara sebangsa setanah air. Lembaran baru terbuka lebar bagi setiap anak bangsa
untuk berkreatifitas dan berkarya untuk kemakmuran bersama.
Cimpago Permai, Koto Lua, Pauh, Padang, 11 Oktober 2017
07. 33 Wib